Blog <b>Makanan di Labuan</b>: OutSyed The Box: Rats !! USM Board Of <b>...</b> - Blog Makanan di Labuan |
- Blog <b>Makanan di Labuan</b>: OutSyed The Box: Rats !! USM Board Of <b>...</b>
- Serba sepuluh menit <b>di Labuan</b> Bajo - ANTARA News
- Sri Mersing - Blog <b> - Blog <b>Makanan di Labuan</b> - Blogger
- Sri Mersing - Blog <b>Makanan di Labuan</b> - Blogger
Blog <b>Makanan di Labuan</b>: OutSyed The Box: Rats !! USM Board Of <b>...</b> Posted: 10 Jun 2014 02:06 PM PDT
Well we must congratulate The Star for arriving at the scene after 10 years. Imagine if The Star had not reported this matter - the rat problem would have gone on until Wawasan 2020 and beyond. Deputy Minister of Education YB Kamalanathan (whom I met again just a few days ago at our favorite restaurant in PJ) said he was shocked at the rat infestation problem at the HUSM in Kota Bharu. Actually I am shocked that YB Kamal is shocked. In Malaysia most things are shocking. So there is really nothing to be shocked about anymore. In Malaysia, I will be shocked if there are no rats. I will be shocked if there are no roofs of buildings falling down. I will be shocked if the Prime Minister knows what he is saying and I will be totally shocked if the rasuah types do not win the UMNO elections. There are so many shocking things happening in Malaysia that they simply do not shock me anymore. In fact I have become numb towards shock. What about you folks? Do you still suffer shocks? Are you shocked when a Minister's unemployed son buys an RM7.2 Million house and his father says 'So what?' Dont be shocked. This is the run of things in Malaysia. Are you shocked when RM360 million is siphoned out of a poor peoples' fund to buy Harley Davidson and Porsches? I am not shocked at all. And the 'Kau' says 'Kam sa dau' ("I dont know" in Vietnamese). So I am shocked when YB Kamal said that he was shocked about the 10 year rat infestation problem. Folks, Dr Mahathir retired as our Prime Minister 10 years ago. Anyway lets get back to more shocking news. After 10 years of rat infestation, the Board of Governors of the HUSM has called for an emergency meeting. They say the "hospital director had been told to be ready". Folks, here is a picture of the hospital director getting ready for the meeting : Here is a picture of a member of the HUSM Board of Dinosaurs : While you are checking up on the rats, can the HUSM Board of Dinosaurs also check and see if the nurses know how to extract blood from the patients on the first try? Try to avoid pricking the patients five times or six times. Three times is better than five times but still painful. If you can get it done on the first attempt that would be best. Is the Board of Governors of HUSM Kubang Kerian aware of that problem as well? Dont be shocked. I am not shocked. |
Serba sepuluh menit <b>di Labuan</b> Bajo - ANTARA News Posted: 07 Aug 2014 02:09 AM PDT Jakarta (ANTARA News) - Bangunan bandaranya baru. Pada beberapa sudutnya masih tercium bau cat. Dari luar, bentuknya menyerupai siluet komodo. Ya, selamat datang di Bandara Komodo, Labuan Bajo, Manggarai Barat. Keluar dari bangunan yang belum tuntas benar ini, terbentang jalan agak lebar nan mulus. Setelah melewati pusat kota yang tak jauh dari bibir laut, hanya sekitar sepuluh menit rombongan yang di dalamnya turut ANTARA News, sudah sampai di satu hotel di mana kami semua diinapkan. "Di Labuan Bajo, semua serba sepuluh menit," kata Fadel, pemandu sekaligus pengemudi kendaraan yang kami tumpangi selama meliput rangkaian kegiatan yang diadakan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Labuan Bajo ini terbilang kota kecil tapi eksotis, kendati hampir sepanjang pantainya diganggu oleh pemandangan sampah-sampah berserakan, mulai botol minuman ringan sampai bungkus permen. Tetapi satu hal paling mencengangkan adalah betapa amannya kota ini. Tak ada preman, tak ada pengamen, pun pengemis. "Di sini kalau pun Anda harus jalan malam-malam, tak akan ada seorang pun yang jahil," kata Fadel lagi. "Kita mungkin hanya akan terganggu pada malam Tahun Baru karena pada malam ini orang bisa berpapasan dengan anak-anak muda yang mabuk. Sebenarnya mereka juga tak mengganggu, tapi hati-hatilah." Menurut Fadel, kalau pun dalam keadaan mabuk, orang-orang sini sama sekali tak mengganggu orang lain. Semua hotel di Labuan Bajo menghadap pantai, berlomba mencuri situs matahari terbenam atau terbit. Pantai-pantainya memang indah, dengan rangkaian gugus pulau di sana sini menyempurnakan keindahan itu. Dari jauh Anda akan menikmati air laut nan hijau, dan makin kelihatan hijau bersemu biru, ketika matahari penuh membakar Bumi. Kuliner Namun, saat malam akan memeluk Bumi, di sebuah sudut yang dinamai Kampung Ujung, para wisatawan biasanya akan menemui sebuah pojok jajan terpopuler yang terdiri atas lapak-lapak kuliner seperti ada di kawasan Sabang, Jakarta, Simpang Dago di Bandung, Malioboro di Yogyakarta, dan banyak tempat di seluruh Indonesia. Ada sekitar 30 warung makan yang umumnya menyajikan makanan laut (seafood). Di tempat yang kedua tepinya diapit pinggir jalan utama kota Labuan Bajo dan pembatas pelabuhan ini, ternyata hanya satu warung yang dikelola orang asli Labuan Bajo. Selebihnya orang-orang Pulau Jawa-lah yang mengelolanya. Dari ke 30 warung itu, Barokah adalah salah satu yang terlaris. Fadel mengaku selalu merekomendasikan warung ini kepada tamu-tamunya, termasuk wisatawan asing. Namun Anda harus bersabar menanti masakan siap disajikan, terutama saat masa penuh pelanggan dan yang dipesan adalah ikan bakar. Pengelola warung, keluarga pasangan Sumiyem dan Umar Ali beserta dua anaknya, tampak berusaha seprima mungkin menyajikan makanan. Mereka selalu memastikan semua bumbu terserap selama dibakar. "Harus begitu, biar enaknya penuh," kata Sumiyem yang mengaku menjadi perintis di pojok jajanan ini. Sumiyem tak memiliki resep khusus untuk ikan bakarnya, namun dia dan suami serta anaknya, hanya memastikan ikan bakar termasak sempurna sehingga pelanggan jatuh nikmat merasakannya. Jika dibandingkan dengan makanan hotel, jelas harganya bagai Bumi dan langit. Tapi pelanggan dijamin tak akan mengeluhkan kualitas gizinya. Hampir semua ikan di sini, termasuk baronang dan kakap yang menjadi favorit pelanggan, ditangkap dari perairan bersih dari polusi. Banyak yang ketagihan mengulang makan di warung Sumiyem. "Ya bule-bule juga ada yang beberapa kali datang ke sini," kata dia. Hanya beberapa meter dari warung Sumiyem, tepat di depan tempat kapal-kapal berlabuh berdiri sebuah warung makan bernama Philemon. Di sini, menu unggulannya adalah "ikan kuah asam". Warnanya kuning membangkitkan nafsu makan, aromanya juga merayu mulut untuk segera mencicipinya. "Ini memang makanan favorit di sini," kata Alan si pelayan warung ini. Inti "ikan kuah asam" ini adalah kakap merah. Bumbunya biasa, namun ada buah nanas yang dipotong kecil pada sajiannya. Satu porsi bisa dilahap dua orang. Yang juga menarik asa makan di sini adalah "sop ikan". Mungkin karena ikan-ikannya diambil dari laut yang steril, maka rasanya sempurna nikmat. Tak banyak pilihan untuk berwisata kuliner di Labuan Bajo, dan jangan harap menemukan sajian khas daerah sini. "Kami tak biasa membuat warung makan," kata Florensius, pemandu situs wisata Batu Cermin, yang jaraknya juga tak jauh dari pusat kota Labuan Bajo. Untuk itu, kebanyakan pojok makan di Labuan Baju menawarkan menu-menu luar Flores. Florensius dan kebanyakan orang sini menamainya dengan "makanan Jawa". Bahkan masakan Padang pun masuk ke kategori ini. Mungkin karena yang utama dari kawasan ini adalah wisata pulau, pantai dan bukit-bukit berhiaskan pohon-pohon lontar yang beberapa di antaranya mengepung lembah besar di mana Bandara Komodo berada. Tentu saja primadonanya adalah komodo, Pulau Komodo dan Pulau Rinca. Namun tak jauh dari pusat kota Labuan Bajo sendiri ada banyak situs menarik yang layak dikunjungi, antara lain Bukit Cinta. "Kenapa disebut Bukit Cinta? Karena sore-sore tempat ini biasanya menjadi tempat anak-anak muda pacaran," kata Fadel. Anak-anak muda Flores sendiri tak salah memadu romansa di Bukti Cinta karena dari tempat syahdu ini siapa pun bisa menikmati keindahan Labuan Bajo dan rangkaian pulau yang mengelilinginya sehingga bagi yang berpacaran menambah suasana romantis. Jika langit cerah dan jika sore mulai menghapus siang, pemandangan dari bukit ini luar biasa indah. Dari puncak bukit ini, siapa pun bisa melihat pulau-pulau dan gugusan pulau dipisahkan laut biru yang pada beberapa tepinya kehijau-hijauan. Tampak pula kapal-kapal berlabuh di Labuan Bajo, selain dermaga-dermaga kecil menuju pulau-pulau tertentu yang kabarnya ada yang dimiliki asing. Sedangkan laju perahu atau kapal terlihat seperti garis putih membelah hamparan biru kehijauan laut kawasan Komodo. Ke arah timur bukit, landasan pacu Bandara Komodo terlihat jelas, seperti karpet berbatas putih yang dihamparkan di lantai. Dari sini Anda bisa menikmati bagaimana pesawat tinggal atau lepas landas. Sepuluh menit dari Bukit Cinta, ada pantai eksotik Waecicu. Walaupun jalan menuju pantai ini buruk, mata tetap disehatkan oleh pemandangan pantai dan rangkaian pulau indah kemilau di sisi jalan. Di pantai ini berdiri beberapa hotel yang umumnya dihuni wisatawan asing. Di satu hotel beratap hijau dengan konsep hotel bungalow yang umum ditemui di kawasan Puncak, Jawa Barat, seluruh penyewa hotel ini adalah wisatawan asing berkulit putih. Mereka asyik bercengkerama di satu kolam renang di bawah sinar mentari siang, sedangkan lainnya berlayar di laut dangkal kehijauan. Lainnya berjemur di terik matahari tropis Flores. Rasanya, sungguh indah nan damai dunia ini. Editor: Fitri Supratiwi COPYRIGHT © 2014 |
Sri Mersing - Blog <b> - Blog <b>Makanan di Labuan</b> - Blogger Posted: 05 May 2014 11:28 AM PDT Dunia dikejutkan apabila tersebarnya berita menerusi internet dan email yang mengatakan sesetengah orang China sanggup memakan bayi. Memetik laporan The Seoul Times, mereka mengesahkan berita tersebut merupakan fakta apabila menerima beberapa keping gambar yang menunjukkan embrio dan janin bayi dijadikan sup sebagai hidangan kepada manusia. Wilayah selatan Canton, Guangdong menjadi fokus utama apabila penduduk di sana menikmati sup herba bayi atas alasan ingin meningkatkan tahap kesihatan serta bertenaga sewaktu mengadakan hubungan seks. Kali ini, sepasang suami isteri yang telah mempunyai dua orang anak gadis sanggup untuk menggugurkan kandungan berusia 5 bulan kerana mengetahui kandungan kali ketiga itu juga adalah perempuan. Menurut sumber, bayi yang hampir dilahirkan dan mati secara semula jadi mencecah ¥2000. Manakala janin yang digugurkan pula berharga ratusan Yuan. Menurut wartawan tempatan, isu tersebut semakin serius apabila penduduk China amat mementingkan kesihatan serta pengaktifan polisi seorang anak dalam sebuah keluarga. Bukan itu sahaja, The Next Magazine, sebuah majalah mingguan terbitan Hong Kong mendedahkan, janin dianggap satu makanan tambahan kesihatan dan kecantikan terbaru di China. Tambah mengejutkan apabila sumber memberitahu anggota badan manusia juga boleh dibeli di hospital. Dalam temubual The Next Magazine dengan salah seorang ahli perniagaan Taiwan, Ms Liu, tujuan dia mengambil 'makanan' tersebut kerana atas kesedaran untuk meningkatkan tahap kualiti kesihatannya. Tambah Liu, walaupun janin manusia mampu dibeli oleh ramai orang, namun, masih ada senarai menunggu 'waiting list' yang demi mendapatkan janin yang berkualiti.Menurutnya lagi, janin yang berkualiti adalah janin yang lebih matang serta janin bayi lelaki dimana ia disifatkan sebagai 'prime human part'. Bukan itu sahaja, terdapat juga beberapa kes penyeludupan bayi di China yang berkemungkinan besar dijadikan sebagai sumber makanan kesihatan kepada mereka. Pihak polis juga pernah menjumpai mayat bayi di dalam sebuah tong sampah yang mengandungi dua badan, empat tangan, dan enam kaki. Mengikut laporan siasatan, anggota badan mayat itu masih lagi baru dan dipercayai diceraikan selepas dimasak. Kenapa ada segelintir golongan manusia yang sanggup melakukan sebegitu tanpa rasa bersalah?Selepas berlakunya Revolusi Budaya Mao, tahap kemanusiaan serta moral dalam kalangan penduduk di China semakin menurun. Pada masa yang sama, dominasi Rejim Komunis Cina telah menyebabkan perlakuan dan percanggahan hak asasi manusia berada di tahap tidak normal seperti yang terjadi,kanibalisme. ~mynewshub Pssttt...... |
Sri Mersing - Blog <b>Makanan di Labuan</b> - Blogger Posted: 06 Aug 2014 12:05 PM PDT 5 "AWAK tinggal beritahu kereta yang mana awak inginkan. Kita pandu keluar." Confident sahaja dia offer sebuah kereta buat Aisha. Mahu babah tahu, kelu lidah dia hendak menjawab. Duit tidak menjadi masalah buat Ivan, leteran dari babah sahaja yang buat dia pening kepala. "Kereta kebal ada?" Aisha sekadar memerhati ruangan showroom. Kereta-kereta mewah yang terpamer di situ hanya memberi satu makna sahaja kepada Aisha iaitu kemudahan. "Awak nak pergi berperang ke?" "Hihihi... tak adalah. Saja bergurau. Saya dah biasa ke mana-mana dengan LRT mahupun pengangkutan awam yang lain." "Laaa... saya nak bagi awak kereta, awak tolak pula?" "Awak nak bagi tapi saya tak cakap saya nak terima." "Habis ke mana-mana kita pergi, saya kena naik pengangkutan awamlah kalau begitu?" "Ya, Encik Ivan Hayden. Kalau tak pun, awak masih boleh naik kereta awak dan saya naik public transport. Kita bertemu di mana sahaja lokasi yang dijanjikan. Saya rasa tiada masalah." Pertemuan yang diatur cukup mudah. Sama seperti apa yang berlaku kepada mereka setiap kali ingin berjumpa. Hari ini, Aisha hanya meminta Ivan mengirimkan mesej akan lokasi syarikat Brittany. Tidak menjadi masalah bila ada pengangkutan awam yang melalui kawasan menempatkan syarikat tersebut. Bas ada, teksi pun banyak. "Encik Hayden..." Aneesa yang merupakan setiausaha syarikat mendekati kedudukan dirinya dan Aisha di sebelah kiri ruang showroom. Ivan menoleh, "Ya, saya." "Boleh semak beberapa dokumen yang saya kepilkan sebelum Encik Hayden turunkan tandatangan di sini?" "Sekejap ya, awak." "Oh, okey." Aisha mengambil jarak bila Ivan ke bahagian front desk syarikat Brittany. Dia memerhatikan Ivan meneliti dokumen-dokumen yang ada dari jauh. Aura lelaki itu semasa bekerja ternyata berbeza berbanding saat berada di universiti. Jika di universiti, Ivan kelihatan sangat relaks dan kasual. Berada di sini, terserlah sisi yang lain daripada yang sebiasa Aisha lihat. Semuanya melibatkan urus niaga pengeksportan kereta-kereta keluaran syarikat ke Eropah. Ia membuatkan Ivan berfikir tentang sesuatu sebelum menurunkan tandatangannya. "Aneesa, awak ada dapat panggilan daripada kilang kita di Kedah?" "Belum lagi Encik Hayden, mungkin petang sedikit rasanya." "Kalau mereka telefon, maklumkan kepada saya secepat mungkin sebab kapasiti pengeluaran kereta di kilang yang terletak di Sik tu akan ditambah. Jadi, untuk barisan pertama selepas perubahan dibuat, saya nak tahu sama ada terdapat masalah atau tidak untuk jenama Mercury dan Prestigue disiapkan mengikut tarikh yang ditetapkan." "Baiklah, saya akan maklumkan sekiranya terdapat panggilan yang dibuat." "Oh, ya... hari ni babah saya masuk lambat ke?" Baru Ivan perasan, sejak dia tiba tidak sampai setengah jam tadi, tidak kelihatan pula Datuk Rill Hayden membuat rondaan di ruang showroom. Selalunya, itu antara hobi babahnya yang tidak dapat dikikis saban hari. "Datuk dah masuk awal pagi dan sejam selepas itu keluar bertemu klien di Subang Jaya. Katanya akan terus ke Kelana Jaya. Khabarnya ingin berjumpa dengan wakil dari kilang di Thailand pula untuk berbincang akan kontrak edaran kereta ke pasaran Asia Tenggara. Rasanya Datuk tak masuk pejabat selepas itu." "Terima kasih, Aneesa." "Ada apa-apa lagi yang boleh saya bantu Encik Hayden?" "Hmmm... rasanya tak ada. Nanti kalau saya perlukan bantuan, saya akan panggil awak semula." "Baiklah kalau begitu." Ivan beralih dari front desk menuju ke arah Aisha. Gadis itu masih tekun memerhati kereta-kereta yang ada terpamer di ruang tersebut. "So, dah fikir nak pilih kereta yang mana?" "Awak nak buat apa beli kereta banyak-banyak? Kereta yang awak pandu setiap hari tu dah cukup untuk memudahkan awak ke mana-mana." "Tapi, saya nak berikan hadiah untuk awak." "Awak nak berikan saya hadiah?" Aisha ingin mengetahui sebab-musabab Ivan ingin memberikan hadiah kepadanya. Hari lahirnya lambat lagi dan tak mungkin Aisha berbesar hati menerima sebuah kereta sebagai hadiah hari lahir. Itu bukan cara Aisha. "But, why? Hanya kerana saya selalu gunakan public transport?" Ivan terus mengangguk. Dia risau setiap kali Aisha ke mana-mana malah menemuinya dengan menaiki pengangkutan awam. Kalau Aisha memiliki kenderaan sendiri, kuranglah sedikit rusuh di hatinya memikirkan keadaan gadis itu di jalan raya. "Hihihi... niat baik awak saya hargai. Tetapi, jujur saya katakan saya selesa dengan cara saya dan saya tak mahu termakan budi manusia dengan mudah. Saya harap awak hormati pendirian saya." Nampaknya pertemuan mereka berdua di syarikat Brittany tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan oleh Ivan. Hendak mengeluh pun tiada guna. Sedikit sebanyak dia memahami dengan lebih mendalam akan keperibadian Aisha dari kaca matanya sendiri. Memang tidak silap dia berusaha mengenali Aisha kerana dia nampak banyak kelebihan gadis itu berbanding gadis-gadis lain di luar sana. "Awak..." "Ya, saya." "Boleh saya minta izin untuk gunakan ruang solat di bangunan ni?" Dalam hati, Aisha mengharapkan bahawa ada disediakan ruang solat untuk pekerja-pekerja muslim di syarikat Brittany. Maklum bahawa bangunan tersebut cukup besar dan luas, rugi sekiranya tidak dimanfaatkan dengan menyediakan ruang solat untuk tujuan beribadah. Ivan jadi tak pasti pula. "Hmmm... sekejap ya?" Macam mana dia nak pastikan, kalau dahi tu dah lama tak menyentuh sejadah dalam erti kata ikhlas beribadah. Solat yang lima waktu, sering kali bertebaran entah ke mana. Apa yang dia tahu, setiap hari Jumaat dia dan Eric ditarik mengikuti Ted ke masjid untuk menunaikan solat Jumaat, itu sahaja Aisha hanya memerhati bila Ivan mendekati kedudukan meja Aneesa. Mereka berbicara seketika. Sesekali kelihatan Ivan menganggukkan kepala namun Aisha tidak mendengar langsung butir perbualan di antara mereka berdua. Dia hanya memandang ke lain bila langkah Ivan diatur kembali ke arahnya. "Ruang untuk solat ada di tingkat dua. Telekung pun ada disediakan. Awak nak saya tunjukkan arahnya?" "Awak tak nak solat sekali?" "Maksud awak berjemaah?" "Ya. Bukankah pahalanya lebih berlipat kali ganda jika hendak dibandingkan dengan solat bersendirian?" "Tapi memikul tugas sebagai seorang imam bukan perkara mudah, Cik Aisha. Besar tanggungjawabnya. Saya tak boleh nak sesuka hati mengimamkan awak sedangkan solat sendiri pun belum tentu saya dapat khusyuk apatah lagi hendak berjemaah." Malu memanglah malu, tetapi benda betul takkanlah Ivan nak ambil ringan sahaja. "Kalau macam tu, tak apalah. Lain kali mungkin." Nada ayat 'lain kali mungkin' itu kedengaran semacam sahaja di telinga Ivan. "Sekarang ni, kita solat zohor dahulu. Asing-asing pun tak mengapa, janji kita tunaikan apa yang wajib." Sempat lagi Aisha tersenyum. Dia nampak banyak lompang kekurangan yang cuba disembunyikan oleh Ivan tetapi itu lebih baik dari tersimpan. Mana yang elok, Aisha akan cuba sehabis baik untuk membantu. Sama-sama memperbaiki kelemahan dalam diri dengan saling memberi dan menerima. Selagi Allah SWT memberikan kesempatan buatnya memperbaiki diri, tiada ruginya jika hamba-Nya beriltizam untuk berubah ke arah yang lebih baik. Di samping itu mengajak orang lain untuk sama-sama berubah ke jalan yang diredai-Nya. "Kita ke tingkat dualah kalau begitu..." Ivan sudah melajukan langkah berjalan di bahagian hadapan. Aisha hanya mengekori. Mereka mendaki tangga ke tingkat dua dan Aisha dapat melihat ruangan di tingkat atas nyata berbeza dengan ruangan showroom di tingkat bawah. Di sini terdapat banyak bilik yang digunakan untuk pekerja-pekerja juga bahagian pentadbiran. Kelihatan beberapa orang pekerja Brittany berada di meja masing-masing, melunaskan tanggungjawab seharian. Sempat jugalah mereka memandang ke arah Ivan dan Aisha yang baharu sahaja tiba ke ruangan tersebut. "Kalau awak nak tahu, inilah ruang kerja saya jika saya masuk ofis." Ivan menunjukkan sebuah bilik yang menampilkan nama juga jawatannya di muka pintu. Belum masanya dia mengajak Aisha masuk apatah lagi mereka berdua sahaja sekarang ini. "Oooh... okey." Mereka meneruskan langkah ke sebelah kiri. Terdapat ruang pantry juga ruang solat yang terletak saling berhampiran. Kalaulah Aneesa tidak memaklumkan, pasti Ivan sendiri tidak perasan ruang tersebut adalah tempat untuk warga Brittany mengerjakan solat. Ivan pun hanya sesekali sahaja ke bahagian pantry, jadi dia memang tak ambil pusing sangat akan lokasi tersebut. "Awak solatlah dahulu, take turn..." Tak bolehlah nak main serbu masuk berdua kerana ruang solat itu hanya boleh memuatkan seorang sahaja dalam satu-satu masa dan tak manis pula jika ada pekerja lain yang melihat. "Saya tunggu awak dekat pantry." Aisha hanya mengiyakan sebelum dia melangkah masuk ke ruang solat yang ada. Pintu dikunci dari dalam. Dia bergerak ke tempat mengambil wudhuk dan berwudhuk sebelum menyegerakan memakai telekung. Solat zohor empat rakaat itu ditunaikan dengan rasa lapang di dalam hati. Segelas air masak berjaya dihabiskan saat Aisha menunggu di ruang pantry. Aisha tidak tahu hendak membuat apa bila bersendirian di situ. Dia hanya memerhati dekorasi pantry yang nampak ringkas dan mudah. Sebuah meja bulat disertakan dengan lima buah kerusi mengelilingi. Peti sejuk, singki mencuci dan rak pengering terletak saling berdekatan. Kabinet pula menempatkan barang-barang seperti water purifier, coffee maker, rak pinggan dan cawan malah bekas berisi pelbagai barangan termasuk biskut dan kuih-muih. Mungkin sahaja ada tea lady yang menguruskan bahagian tersebut. "Jom?" Muncul Ivan di situ mengajaknya untuk keluar. "Dah fikir nak kereta jenis yang mana? Sporty, classy, casual, compact, SUV, MPV tapi jangan tanya jenis eco car pula... memang tak ditawarkan dekat Brittany." "Awak." "Hmmm..." Ivan memandang Aisha yang bergerak menuruni tangga di sebelahnya. "Saya tak nak kereta, jauh sekali memandu kereta." "Tapi kenapa?" "Memandu di tengah kesesakan kota raya sangat berbahaya dan, saya mana ada lesen kereta..." "Laaa... ye ke?" "Sebab itu saya rasa pelik, kenapa awak ajak saya ke syarikat awak. Ingatkan awak ada urusan penting, sebab tu kita berjumpa di sini." "Jadi sia-sia sahajalah saya bawa awak ke mari?" Ivan mengeluh. "Eh, tak adalah. Saya tak rasa sia-sia pun. Sekurang-kurangnya saya tahu awak bekerja sambil belajar. Tak mudah nak uruskan dua perkara dalam satu masa. Tapi, mungkin sebab awak antara ketua di sini jadi tiada masalah untuk bahagikan masa awak di universiti mahupun syarikat." "Nak kata susah tu tak adalah susah mana. Selagi saya faham dan cepat tangkap, semuanya boleh berjalan dengan mudah tak kira di universiti atau syarikat. Cuma part yang susah bila papa saya minta idea untuk luaskan pasaran syarikat malah fikirkan cara untuk meningkatkan jualan setiap suku tahun. Masa tu, baharu pecah kepala nak manage sekali gus." "I'm always believe that you will do well in whatever you're doing." "Oh, thanks." Ivan tidak sedar sejak bila dia tersenyum. "So, shall we hit the road now? Saya dah rasa lapar." Comel sahaja riak di wajah Aisha mempotretkan dirinya yang berasa lapar. "Okay, let's go!" Ivan menolak daun pintu dan mempersilakan Aisha untuk keluar terlebih dahulu. "Terima kasih." Aisha yang melangkah keluar terlebih dahulu sudah mengucapkan terima kasih di atas perhatian yang diberikan oleh Ivan. Ivan tersengih. Mereka mendekati kereta yang diparkir berdepanan dengan bangunan syarikat. Dia mmboloskan diri ke dalam kereta. Aisha turut melakukan perkara yang sama dengan duduk di sebelah pemandu. "Kita nak makan di mana?" "Selera Rastaaaaaaaaaaa!" Dalam nada bergurau Ivan menjawab seiring dengan jari telunjuknya sudah diisyaratkan akan lokasi yang hendak dituju. Mindanya sudah merencana untuk makan di Hotel Applegate. "Manalah Selera Rasta buka waktu-waktu begini?" Seketika kedengaran tawa Ivan meletus bila Aisha mengetap bibir. Geram dirinya dipermainkan oleh lelaki itu. Tidak dinafikan Selera Rasta menjadi lokasi favourite pelajar-pelajar Unitadz untuk makan dan hang out bersama rakan-rakan di waktu malam dan hanya beroperasi bermula jam enam petang. Baharu sahaja Ivan hendak membuat pusingan U di persimpangan hadapan, telefon bimbitnya berbunyi. Lantas iPhone yang berada di dalam saku seluar slack ditarik dan diserahkan kepada Aisha. "Saya tak bawa handsfree, tolong swipe dan pegangkan, boleh?" "Err... ah, okey." Aisha menyambut telefon yang dihulur. Tertera nama Lucy di permukaannya. Tanpa menunggu lama Aisha menyentuh permukaan skrin sebelum dilaraskan kepada speaker. "Lucy..." Aisha menyebut sebaris nama tersebut agar Ivan tahu siapa pemanggilnya. Dalam hatinya tertanya-tanya. Siapalah Lucy yang membuat panggilan sekarang ini? "Haaa... Lucy. Awat call?" "Papa Eric masuk hospital, heart attack. Aku on the way ke KPJ." Aisha yang mendengar terus menekup mulut dan beristighfar. Walaupun dia tidak kenal individu yang dimaksudkan, tetapi lelaki itu orang tua Eric. Sedikit sebanyak terpalit rasa bimbang di dalam dirinya bila melihatkan wajah Ivan berubah mendadak. Dari ceria bertukar muram mendengarkan perkhabaran tersebut. "Kalau macam tu, aku datang sekarang. Jumpa dekat sana." Tak sempat hendak bertukar salam, panggilan sudah terlebih dahulu ditamatkan oleh Ted. Aisha merenung skrin telefon bimbit yang bertukar gelap di tangan. Biarlah telefon itu dipegangnya terlebih dahulu. Dia perasan perubahan besar di wajah Ivan dan dia tidak mahu mengganggu tumpuannya memandu sekarang. "Aisha, boleh awak temankan saya ke sana?" "Iyalah, saya temankan. Awak pandu kereta ni elok-elok. Saya rasa dah laju semacam awak drive sekarang..." Walaupun hendak segera tiba ke hospital, keselamatan diri di jalan raya sekarang patut sama-sama dititik beratkan. "Sorry." Ivan tidak melanjutkan kata selepas itu. Tumpuannya tetap di jalan raya walaupun fikirannya sudah melayang teringatkan perihal Eric juga papanya, Datuk Abdullah. IVAN nampak Eric tertunduk sugul di luar bilik pemeriksaan. Aisha yang mengekorinya turut tertanya-tanya akan keadaan papa Eric yang masih lagi menjalani rawatan. "Eric." Ivan datang dekat seraya memeluk Eric yang kelihatan lemah. Saat pelukan dileraikan, Eric nampak ada gadis yang berdiri di sebelah kanan Ivan. "Lucy dah sampai dan dia ke surau. Kau dari mana dengan Aisha?" Baru dia perasan akan kehadiran Aisha sama. "Aku dari main office Brittany tadi. Hajat nak pergi makan. Tapi bila dapat panggilan dari Lucy fasal papa kau terus kami ke mari. Macam mana dengan keadaan papa kau?" "Masih lagi menjalani pemeriksaan di dalam. Driver yang jumpa papa aku di bilik hotel sebab tak turun-turun selepas lunch." Eric sedaya-upaya cuba menyembunyikan rasa sedihnya di depan Ivan. "Dah lama kau sampai?" Ted tiba-tiba menegur. Dia yang baru sahaja kembali dari surau langsung tidak berlengah untuk lama-lama berada di bawah. "Baru je." Ivan menjawab sedang Aisha hanya diam dan tersenyum nipis. Baru dia tahu siapa Lucy yang menelefon sebentar tadi. "Ivan, Aisha... kamu berdua belum makan lagi, kan? Ajak Lucy sekali turun makan." Eric berasa kasihan mengenangkan mereka bertiga terpaksa bergegas ke KPJ menemuinya setelah dimaklumkan tentang keadaan papanya. "Aku okey lagi." Ivan menjawab seraya memandang tepat ke wajah Eric. Tidak tegar membiarkan temannya itu keseorangan. "Aku pun." Ted menjawab walhal dari semenjak di surau perutnya sudah berkeriuk-keriuk minta diisi. "Kau memanglah okey tapi Aisha tu yang aku kasihan. Pergilah turun dahulu. Apa-apa nanti aku call. Papa aku masih dirawat dekat dalam jadi jangan risau. Pergi makan..." Eric menolak tubuh Ivan juga Ted agar segera bergerak ke kafeteria. Tidak elok jika dibiarkan perut kosong semata-mata kerana dirinya. Ivan yang sedar akan situasi Aisha terus sahaja menurut. Bukankah gadis itu benar-benar lapar sebelum mereka keluar dari Brittany? Kasihan pula mengenangkan bila dia dengan perut kosong terpaksa menemankan Ivan menemui Eric di KPJ. "Kalau macam tu, aku bawa Aisha dengan Lucy ke kafe. Sekejap lagi selesai makan kami naik balik. Kalau ada apa-apa jangan lupa untuk beritahu sesegera mungkin. Faham?" "Iyalah. Kau ni kalau mengarah, memang macam mak nenek." "Ingat apa yang Ivan pesan?" Ted menepuk bahu Eric yang cuba untuk tersenyum. "Yalah..." Eric memerhatikan Ivan, Ted dan Aisha yang bergerak ke arah lif di sebelah kanannya. Saat mereka hilang dari pandangan, terbit keluhan keluar dari bibirnya. "Maafkan Aiman, papa..." Dia masih ingat akan kata-kata yang diucapkan kepada papanya petang semalam. Akibat merajuk dengan teguran papanya, dia tidak pulang ke rumah apatah lagi ke hotel. Sebagai tanda protes sengaja dia bermalam di studio seni Unitadz seorang diri. Eric bimbang jika perkataan 'Goodbye' yang dilafazkan semalam menjadi perbualan terakhir di antara papa dan dirinya. Dia jadi betul-betul takut. Air mata yang cuba ditahan dari dilihat teman-temannya sejak tadi kini mengalir juga. Lekas-lekas dikesat dengan belakang tapak tangan. Tidak mahu ada yang melihat. "Aiman takut papa akan tinggalkan Aiman. Sama macam mama..." Matanya kini fokus ke hadapan. Memandang tepat ke arah pintu bilik pemeriksaan. Ivan dah bergerak ke bahagian kaunter. Beberapa jenis lauk-pauk yang tersedia dalam tray diperhati sebelum dia menimbang hendak memilih yang mana. Lewat hari ini mereka menikmati hidangan makanan tengah hari. Aisha sudah lama berlalu mengambil tempat duduk. Itu pun setelah selesai dia memilih makanan yang diinginkan. Ted yang baharu sahaja selesai memilih makanannya turut duduk di meja yang sama. Dia hanya membiarkan kerusi di sebelah kosong agar mudah untuk Ivan duduk setentang dengan Aisha. "Aisha, kalau saya tanya sesuatu boleh?" Melihatkan Ivan belum ke meja, Ted mengambil kesempatan untuk bertanyakan sesuatu kepada Aisha. "Erm... tanyalah." "Awak kenal Hannah?" "Hannah? Maksud awak, Kak Hannah? Ya, saya kenal dia. Satu fakulti." Tanpa berselindung Aisha memaklumkan. "Dia ambil jurusan apa dekat Fakulti Bahasa & Kesusasteraan tu? Maksud saya, major? Bahasa atau Sastera?" "Kalau tanya majoring, Bahasa. So, awak tahulah apa yang minor, kan?" "Err... ya." "Kenapa tanya fasal Kak Hannah? Awak kenal Kak Hannah ke?" Rasa unik pula ada yang bertanya fasal seniornya itu. Aisha sendiri sedia maklum, Hannah susah untuk rapat dengan orang lain. Terutamanya jika berlainan fakulti. Sebab itu dia rasa semacam apabila Ted menunjukkan minat untuk mengetahui lebih lanjut tentang Hannah. "Sort of." Sejak bila dah terbiasa dengan 'sort of' ni? Ted pun naik hairan. "Sebenarnya, jarang orang tanya fasal Kak Hannah. Lebih-lebih lagi kalau pelajar dari fakulti lain." "Dia tak campur orang ke?" "Hmmm... susah nak cakap sama ada campur atau tidak. Tak ramai yang kenal dia di luar. Tetapi, bebudak fakulti memang hormat dia sebagai senior. She's one of the excellent students in our faculty. Boleh dikatakan role model pelajar junior." "Oh, okey. Terima kasih untuk infonya. Err... maaflah sebab buat Aisha tergendala hendak makan." Baru Ted perasan, disebabkan hendak mengetahui perihal Hannah, tidak sempat Aisha menjamah makanan di dalam pinggannya apatah lagi dirinya. "Tak apa. Benda kecil sahaja." "Aik, borakkan apa sampai nasi pun tak sentuh lagi?" Ivan yang baharu sahaja tiba di meja, melabuh punggung di depan Aisha. Seketika dia memandang wajah Ted dan Aisha berselang-seli. Apa kenalah mereka berdua ni? "Saja bual-bual kosong fasal fakulti Aisha." Ted menjawab. "Fasal fakulti ke fasal pelajar fakulti? Ayat tu biar jelas sikit." Mulalah Ivan dengan perangai mengusiknya. Arif dirinya akan sikap Ted yang jarang ambil kisah fasal pelajar Unitadz. "Dah, jangan banyak cakap. Baca doa makan, sekejap lagi kita nak naik atas semula. Tak sedap hati pula aku tinggalkan Eric seorang diri dekat atas." "Bismillahirahmanirrahim..." Ivan menadah tangan untuk mengetuai bacaan doa makan. Aisha dan Ted sekadar mengaminkan. Sempat lagi Ivan menoleh ke arah Ted di sebelah sambil tersengih-sengih. Ingin memaklumkan bahawa dia boleh membaca doa makan. Mujur makanan yang disuap ke mulut Ted tidak tersembur melihatkan aksi Ivan waktu itu. Hampir ke petang Ted menemankan Eric di hospital. Selepas sahaja solat asar di surau, Ivan meminta diri untuk pulang terlebih dahulu. Dia ingin menghantar Aisha ke perhentian bas seperti yang diminta oleh gadis itu dan berjanji akan sama-sama menemankan Eric di hospital pada sebelah malamnya. Beberapa orang penting di Hotel Applegate turut datang melihat-lihat keadaan Datuk Abdullah yang kini dikatakan stabil selepas pemeriksaan menyeluruh dilakukan. Lega hati Eric bila mengetahui papanya tidak lagi berada dalam keadaan bahaya dan kini sedang tidur. "Malam nanti aku datang temankan kau. Aku bawakan sekali pakaian dari Suite." "Thanks. Aku tak tahu macam mana nak berterima kasih dengan kau dan Ivan sebab sudi temankan aku dari tadi." "Relakslah, kita kan kawan. Hari ini hari kau, mana tahu esok lusa hari aku pula susah..." Ted dapat melihat Eric senyum segaris mendengarkan kata-katanya tadi. Dia tahu, temannya itu berusaha untuk kelihatan tabah dan kuat. Segala kepayahan yang dilalui kalau boleh hendak disorok dari dilihat oleh orang lain. Begitulah sikap Eric dan Ted sendiri rasa kagum. Mereka bertiga membesar jauh dari rasa kasih seorang ibu. Jadi masing-masing sangat bergantung kepada insan yang digelar ayah semenjak kecil sehinggalah menginjak ke usia dewasa. Eric kehilangan mamanya semenjak dia berusia tujuh tahun akibat kanser perut. Ivan pula kehilangan uminya akibat kemalangan jalan raya saat dia memasuki tingkatan satu manakala Ted langsung tidak pernah mendapat kasih sayang seorang ibu semenjak dilahirkan. Ini kerana ibunya meninggal dunia selepas mengalami pendarahan teruk saat bersalin. "Aku gerak dulu. Kalau ada apa-apa telefon aku tahu!" "Hati-hati..." "And, one more thing Eric... don't forget to pray. Allah will always listen to your prayer." Di antara mereka bertiga, hanya Eric sahaja yang jarang menunaikan solat walau kerap kali diingatkan oleh Ted. Setakat Ivan bolehlah juga jika kena caranya Ted mengajak. Tetapi Eric agak liat untuk menunaikan Rukun Islam yang ke dua itu. "Hmmm..." Eric tidak terus menjawab. Dia sekadar menggumam sebelum melihat Ted melangkah keluar dari wad peribadi yang menempatkan dirinya juga Datuk Abdullah. HAMPIR pukul sepuluh barulah Ted melangkah keluar dari Suite 1601 dengan beg berisi pakaian juga toiletries buat Eric. Setengah jam tadi Ivan memaklumkan bahawa dia sudah tiba di hospital manakala Ted akan singgah ke Suite terlebih dahulu. Gerakan kakinya kini dibawa menuju ke bahagian lif. Setelah memboloskan diri dalam lif, dia terus sahaja menekan butang L yang mewakili ruang lobby hotel. Pintu lif berdenting sebelum terbuka di tingkat 14. Ini menunjukkan ada pengunjung hotel yang ingin menaiki lif untuk turut serta turun. Ted bergerak sedikit ke sebelah kanan. Seorang gadis melangkah masuk dan Ted cukup terkejut bila mereka berdua kini berkongsi lif yang sama. Hannah merasakan bahawa dirinya menjadi mangsa renungan Ted. Terlupa dirinya seketika bahawa lelaki di sebelahnya itu merupakan anak kepada pemilik universiti di mana dia belajar sekarang. Rasa pelik adalah setiap kali menemui lelaki itu di sini seperti tiada rumah sendiri. "Kau dari mana?" Tidak tahu mengapa, sejak dua menjak ini dia merasakan bahawa dia terlalu ramah berbicara bila bertemu dengan Hannah. Situasi sekarang tidak terkecuali. "Jumpa kawan." "Kawan yang tempoh hari tu ke?" "Ya." "Oh, lupa nak cakap... puisi semalam, simple dan boleh tahan." Ted tidak tahu hendak memuji yang bagaimana. Janji dia dapat menyatakan apa yang dia rasa setelah mendengar gadis itu melantunkan puisi dalam gaya tersendiri. "Saya 'taram' aje asalkan kena dengan tajuk. I'm quite good when dealing with improvisation." Tidak menjadi masalah buat Hannah untuk hadir dengan idea spontan. Janji tahu nak cakap fasal apa, itu sudah memadai. "Sekarang ni kerap betul aku jumpa kau." Rasanya dah banyak kali dia nyatakan perkara yang sama. "Hmmm... saya pun rasa macam tu juga. Tetapi kalau awak rasa tak selesa, saya akan cuba untuk elakkan diri dari kita bertembung di mana-mana." Hannah sendiri rasa tidak selesa bila kerap menemui lelaki itu kebelakangan ini. "Heh! Macam mana kau nak elak? Cuba kau beritahu aku..." Lainlah gadis itu tahu 'tentatif program' dirinya saban waktu, pasti tiada masalah. "Ha'ah ek! Saya tak terfikir pula sampai ke situ." Kenapa dirasakan lif bergerak terlalu perlahan ketika ini? Hannah memandang Ted yang berdiri di sisi sambil menjinjit sebuah beg di tangan kiri. "Awak nak ke mana dengan bawa beg ni? Lari dari rumah?" "Hahaha..." Seketika terhambur ketawa Ted. "Kau ni suka betul buat assumptions yang bukan-bukan. Bawa beg tak semestinya nak lari dari rumah. Sama macam duduk lepak dekat tembok rooftop, bukan bermakna nak bunuh diri." Sempat juga kata-katanya diselitkan dengan ayat berbaur sindiran. "Aku nak bawa pakaian untuk kawan aku, Eric. Papanya masuk hospital akibat serangan jantung..." Belum sempat Hannah ingin membuka mulut bertanyakan keadaan papa temannya itu, lif sudah membawa mereka sehingga ke aras lobby. Mereka melangkah keluar dengan Hannah mendahului di hadapan. Tidak sedar bahawa kehadiran mereka di ruang tersebut menarik perhatian beberapa pasang mata yang juga merupakan pelajar-pelajar Unitadz. "Kau nak balik terus ke?" "Ha'ah." "Nak aku hantarkan?" Sejak bila Tengku Edzfareel bin Tengku Adzlan berani offer seat untuk hantar orang lain balik? Ada hati nak jadi pemandu 'teksi sapu' ke? "Tak apa. Ada kawan yang akan ambil saya nanti." Mendengarkan perkataan 'kawan' kening Ted terangkat sedikit. "Okeylah kalau macam tu. Aku gerak dahulu. Ciao!" Modal kata lelaki itu selalu sahaja berakhir dengan perkataan 'ciao' dan ia sedikit sebanyak membuatkan Hannah merasa jengkel. Tak boleh ke beri salam elok-elok? "Assalamualaikum." Harap-harap salamnya berbalas kerana Hannah pasti Ted mendengar ucapan yang disampaikan. "Wa'alaikumsalam warrahmatullah..." Rendah sahaja Ted membalas sambil melangkah keluar dari pintu utama hotel menuju ke kereta yang dipandu oleh seorang valet attendant Hotel Applegate. Hannah yang menunggu kehadiran Arya sekadar memerhatikan lelaki itu hilang dari pandangan. Seketika dia tersenyum mengingatkan puisi yang dibaca semalam juga kenangan berada di rooftop bersama-sama lelaki itu tempoh hari. Tidak sedar bila otaknya bekerja sehingga Biru Langit Dia kembali terngiang-ngiang di telinga. Awan putih, biru langit, Terang, hangat dan bahang, Kau dan aku, larut dalam irama kicauan. Sedang diri tertanya-tanya, Suara itu milik kau, atau Sekadar desir angin menyapa? Sekali lagi aku merenung, Sekian kali engkau memandang, Arah yang sama, Biru langit milik Dia, Jauh di atas sana. ps: Maaf, dah berkarat dengan puisi. Sudah lama zaman itu ditinggalkan. Untuk chapter 6 akan datang, ada kuiz 'happy-happy' menanti. Tunggu! |
You are subscribed to email updates from Makanan di Labuan - Google Blog Search To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
No comments:
Post a Comment